Decision (Sebuah Keputusan Masa Depan)
Belakangan ini pertanyaan yang sering mampir di
kepala itu tentang apakah aku akan capable
menjadi orang tua suatu saat nanti? Kadang-kadang pertanyaan random kayak gini bisa bikin terganggu,
karena aku pribadi masih pada tahap mengedukasi diri untuk melepas pemikiran
klasik yang selalu jadi kebanggaan orang-orang Indonesia pada umumnya yaitu “Banyak
anak banyak rezeki”.
Kenapa aku bilang aku sedang mengedukasi diri? Karena
jujur aja, selama ini aku sedikit banyak terpengaruh sama slogan yang berseberangan
dengan misi kampanye dari BKKBN ini, sampai pernah ngebayangin “Kayaknya anak banyak
lucu deh, rumah rame”. Bener sih, betapa bodohnya aku dulu yang punya pemikiran
begitu tanpa tahu ada ribuan bahkan jutaan tantangan yang harus dihadapi ketika
memutuskan menjadi orang tua.
Hal menarik yang aku sadari ketika
akhirnya memasuki fase dewasa adalah mulainya memikirkan hal-hal yang sekiranya
membawa dampak ke kehidupan, lalu yang jadi pertimbangan untuk kemudian hal
tersebut juga jadi bahan untuk memutuskan berani dalam mengambil satu keputusan.
Termasuk pertanyaan di atas. Kalau dulu aku adalah wujud orang yang kurang
sekali edukasi tentang hal-hal seperti itu, yang menurutku harusnya memang sudah
dipikirkan secara matang. Tapi sekarang aku ga mau menjadi wujud manusia yang
tidak mau berubah dan tidak melek sama ilmu pengetahuan, isu sosial, dan
lain-lain yang dekat sekali dengan lingkungan sekitar.
Menurutku statement “Banyak anak banyak rezeki” itu ga bisa lagi dipaksa
untuk masuk di kehidupan yang serba canggih ini. Karena slogan tersebut selain
mendorong orang-orang untuk punya mindset
bahwa punya anak banyak itu akan mendatangkan rezeki yang berlimpah, tanpa
mempertimbangkan aspek-aspek lain yang penting untuk dipikirkan dan jadi point utama , misal : gimana anak nanti
mau dididik mental dan pemikirannya, gimana tentang pendidikannya,
kesehatannya, perannya untuk lingkungannya, dan banyak hal lagi sebenarnya.
Menurutku ketika seseorang menjadi
sosok orang tua, disana akan otomatis ter-setting
misi, kewajiban, dan tanggung jawab yang akan mereka tanggung di pundak
masing-masing. Ga mau nampik kalau perencanaan keluarga itu sangat penting. Jadi
ga usah lagi sekedar menjustifikasi alasan punya anak banyak dengan bilang “Gapapa
banyak anak banyak rezeki loh nanti”. Kecuali sebagai orang tua sanggup
memenuhi apa yang udah jadi hak nya anak (pendidikan, kesehatan mental dan
fisik, pengembangan bakat, dll).
Personally, aku ingin jadi orang tua dengan pemikiran matang begitu.
Dan otomatis aku akan cari pasangan yang punya pandangan yang sama bahwa kita
akan jadi orang tua kalau secara mental, fisik, materi kita sudah sangat-sangat
siap dan capable untuk membesarkan
mereka. Aku ga mau jadi wujud orang tua yang nanti setelah renta justru
mengintimidasi anak-anakku dengan mengungkit-ngungkit berapa besar jasa yang ku
keluarkan hanya untuk melahirkan dan membesarkan mereka.
Kalau ditanya ada ga yang mempengaruhi
pandanganku bisa berubah orientasi begitu? Banyak. Ada teman yang cerita mereka
justru di-abuse sama orang tua
sendiri. Lingkungan yang harusnya sehat untuk perkembangan mereka justru yang
paling jahat menghakimi dan menyumpahi mereka sebagai anak sial yang membuat orang
tuanya menyesal sudah melahirkan dan membesarkan mereka. Ada yang karena punya
anak banyak jadi bikin pusing mereka sendiri sebagai orang tua mikirin gimana
makan dan sekolahnya. Akhirnya lagi-lagi jawabannya bermuara pada satu
kesimpulan : ketidaksanggupan orang tua menjadi titik kelemahan anak yang tidak
jarang jadi penyesalan untuk orang tuanya. Lucu menurutku, ketika ada orang
yang bikin anak dengan mudahnya terus di kemudian hari bilang menyesal sudah
membesarkan mereka.
Apakah ga ada
sedikit aja terbesit gitu rasa bersalah ketika kalimat penyesalan itu terucap lancar
keluar dari dalam mulut? Padahal tahu, anak ga pernah minta dilahirkan dan ga
pernah bisa milih orang tuanya siapa.
Terlepas dari semua itu, aku ga lebih
dari seseorang yang ingin jadi sosok orang tua yang nanti akan bisa bersahabat
baik dengan anakku, capable untuk
memberikan mereka wadah untuk berkarya dan mengembangkan potensi bakatnya,
tanpa hadirnya unsur memaksa karena cuma ingin ngasih makan keegoisan ku aja
yang mungkin dulu pernah ga terwujud, capable
untuk menjadikan mereka manusia-manusia dengan budi baik, capable untuk bisa mengerti perasaan mereka untuk bertumbuh, capable untuk memberikan mereka space kalau lagi pengen sendirian dan
butuh privacy, capable untuk memberikan mereka space
untuk lebih ekspresif dan bersedia untuk curhat segalanya tentang aspek di
hidupnya.
I will being a
mom in future who want to hear more
my kids story even just a little thing happen in their school.
Dan satu lagi, nanti setelah menikah
aku akan memutuskan untuk siap menjadi orang tua kalau aku sudah bisa
meyakinkan diri sendiri jika aku tidak akan membiarkan apa yang aku serap dan
menjadi beban psikis selama ini, aku tumpahkan pada anak-anakku yang at the end justru menjadi beban untuk
mereka mencari cara healing dari
semua luka yang aku bawa saat membesarkan mereka nanti. Big No No !
PS : Untuk teman-teman yang saat
ini sedang mencoba kuat untuk bertahan dalam lingkungan rumah yang tidak sehat,
kalian semua kuat udah menjalani semua hal itu dan please jangan berubah jadi
orang yang abai dengan hati sendiri. Kalau orang lain sudah abai dengan
perasaan dan keberadaanmu, kamu jangan ya. Mulai dengarkan apa yang baik untuk
mentalmu, jauhi hal-hal yang membuatmu jauh tertekan, memang dilahirkan sebagai
seorang anak tidak pernah menjadi pilihan tapi kamu bisa milih untuk menentukan
apa yang bikin kamu bahagia. Semoga kakimu semakin kuat untuk menopang. And last,
be brave.
And one last thing, im gonna say
this to one of my friend, thankyou yang malam ini secara kebetulan sudah
bersedia bercerita dan sudi meminjam dua telingaku untuk berkeluh- kesah. Kebetulan
banget pas aku mau up tulisan ini, kamu chat aku untuk curhat tentang hal yang
ternyata nyenggol topik yang sama dengan yang ingin aku bahas. You have to know
this, jangan ada lagi pemikiran sesat yang menuntun kamu untuk justru
membenarkan hal yang salah ya. Selamanya yang salah tidak akan pernah jadi
benar. Dan aku pengen kamu suatu saat cukup berani untuk speak up dan stop
nahan semua hal yang sebenarnya limit mu udah di garis merah. Nilaimu sebagai
manusia seberharga itu. Luv.
Comments
Post a Comment