Menikah (Sebuah Riset Sederhana)


Beberapa minggu lalu baru saja merayakan usia baru yang kalian tahu kerap dilakukan setahun sekali. Seperti biasa, ulang tahun ketika dewasa itu memang tidak ada yang spesial. Berkesan hanya ketika kumpul bareng temen, ngobrol, dan makan kue bareng, sementara sisanya hanya agenda untuk refleksi diri, refleksi diri, dan refleksi diri. Juga untuk sekedar catatan, bahagia nya tidak ditentukan dengan ada atau tidaknya pasangan (pengakuan salah satu teman yang merefleksikan perayan ulang tahun seseorang yang punya kekasih, dan saya refleksi tidaknya haha).
Sesuai kata Peter Pan kalau “Being adult is a trap”. Itu kenapa ga sedikit orang yang mengidap sindrom Peter Pan yang kita tahu kisahnya sebagai seorang anak yang membenci dan tak ingin jadi dewasa (bentuk sikap menghindari konflik dan tanggung jawab). But wait, point tulisan ini justru kebalikannya. Bagaimana saya diusia sekarang merasa sudah ada di stage hidup yang menuntut untuk dewasa oleh prioritas diri sendiri dan lingkungan sekitar. Berbeda dengan tahun lalu yang saya masih merasa belum ada di fase kedewasaan yang selama ini saya bayangkan akan terjadi. Justru surprisingly, tahun ini bisa dikatakan moment refleksi diri besar-besaran untuk saya yang diiringi dengan munculnya berbagai pertanyaan-pertanyaan yang acap kali dialami oleh seseorang pada fase “dewasa”.
Salah satunya topik tentang menikah. Entah ada magis apa dengan angka di usia ini, namun yang jelas topik menikah tidak pernah seserius ini ada dalam pikiran saya. Bahkan bisa dibilang, tidak sama sekali menuliskan menikah sebagai pemuncak pada daftar prioritas dan daftar keinginan (bucket list). Digaris bawahi, ada tapi tidak di top list (sebagai penegasan bahwa saya masih manusia yang menginginkan menikah, namun tidak sekarang haha).


Mungkin hal ini belakangan sering muncul karena keadaan di life circle dimana satu persatu sahabat baik resmi dipinang, saudara susul menyusul mengikrarkan janji, dan kartu undangan yang mulai satu persatu berdatangan. Kemudian saya bertanya dalam hati, apakah normal mempunyai pemikiran untuk menikah diusia awal 20-an? Dan dari beberapa artikel, saya temukan jawaban bahwa normal untuk berpikir menikah di usia 20-an. Pada salah satu artikel yang ditulis oleh tirto.id, tahun 2018 ada sebanyak 60,34% pemuda-pemudi Indonesia menikah pada usia 19-24 tahun (rentang usia saya sekarang). Bukan angka yang sedikit, mengingat menikah muda memang sudah jadi fenomena dalam society kita yang justru sudah dianggap hal yang lumrah. Hingga saking lumrah dan biasanya, pertanyaan-pertanyaan konyol kapan menikah sudah pasti sering kita dengar gema nya bak momok yang menghantui di setiap pertemuan keluarga, reunian sekolah, dan lain-lain. Fenomena menikah muda seolah-olah dijadikan sebagai contoh untuk orang lain yang belum memutuskan untuk menikah, bahkan tidak jarang dijadikan bahan untuk memojokkkan #timsuksesdulumenikahkemudian sampai enggan datang ke pertemuan hanya karena tidak ingin dilempar pertanyaan basa-basi nan menenggelamkan haha.
Kalian tidak sendiri, karena ternyata diusia semuda ini saya pun sudah merasakannya. Sebagai seseorang yang memegang prinsip dalam hidup dan memilih untuk konsisten, jawaban yang saya berikan tiap kecolongan diberikan pertanyaan semacam itu saya rasa cukup pintar agar di pertemuan berikutnya sang pelaku merasa kapok untuk menanyakan hal yang sama. Karena jujur saja, ada diusia sekarang dengan problem hidup yang bertambah, tanggung jawab yang bertambah, target yang bertambah, menikah memang bukan prioritas seperti yang saya sampaikan diatas.
Saya cukup berani untuk menanyakan hal ini kepada ibu saya, dan saya merasa sangat puas dengan jawaban yang beliau lontarkan. Bukan pertanyaan berat, namun saya pikir beberapa tahun kemudian hal ini akan menjadi obrolan serius jika saya masih di posisi yang sama. Saya bertanya kepada ibu saya, bagaimana jika semua sahabat saya, saudara saya, tetangga sepermainan sudah banyak yang menikah, lalu anak ibu ini masih saja berkarir dan belum menikah?
Ibu saya menjawab “Tidak apa-apa, karena mencari suami bukan perkara yang mudah”. Penyampaian beliau santai, sehingga membuat saya tidak perlu merasa terintimidasi. Mungkin beda cerita ketika beberapa tahun kedepan, justru ibu saya yang berbalik bertanya duluan “Berkarir sudah lalu kapan kamu menikah?”. Terasa horror ketika membayangkannya, jadi tidak usah dipikirkan dulu haha.
Lanjut. Menikah memang bukan hal yang harus ditakuti toh nanti ketika menemukan yang sesuai juga akan tiba diposisi mantap dan yakin menetap selamanya. Hanya saja dalam prinsip saya, menikah bukan hanya soal ruang kosong yang terisi. Namun tidah salah jika hal yang lebih kompleks turut juga dipikirkan. Jika dalam prinsip saya, akan menikah ketika mapan (baik mental maupun finansial) then I’ll go for it mengingat ada hal yang butuh perencanaan yang matang.
Saya melakukan sedikit riset kepada beberapa rekan dalam rentang usia awal hingga akhir 20 tahun, yang bersedia menjadi responden. Mereka kemudian dikelompokkan dalam dua kriteria berbeda, yang sudah dan belum menikah. Jawaban dari responden-responden dalam kelompok kriteria sudah menikah, mencerminkan penting sekali punya perencanaan finansial yang matang sebelum menikah karena ada banyak hal dalam pernikahan yang memerlukan perencanaan finansial yang baik agar seimbang di semua sisi.
Selain indikator kesiapan finansial, indikator kesiapan menikah diusia matang juga menjadi topik kunci dalam riset ini. Indikator ini membuktikan bahwa menikah diusia matang pun tidak sepenuhnya menjamin semua masalah dalam pernikahan yang lebih kompleks/serius dapat diselesaikan dengan dewasa pula. Karena sesuai kata pepatah yang diiringi dengan hasil dari  beberapa penelitian, bahwa usia tidak membeli kedewasaan, melainkan proses belajar dari masalah dan kemampuan untuk dapat berpikir panjang yang melakukannya (Rose Mini, 2018)
Sejalan dengan jawaban responden dari kelompok sudah menikah, responden dari kriteria belum menikah juga memaparkan bahwa mapan secara mental dan finansial dirasa akan sangat membantu menghadapi masalah-masalah yang akan lahir dalam kehidupan pasca menikah. Matang secara finansial membantu proses perencanaan keuangan pasca menikah, dan matang secara mental menolong proses kedewasaan dalam menghadapi peliknya kehidupan setelah menjadi pasangan.
Namun, responden yang belum menikah turut melengkapi dilema yang mereka hadapi sebelum menikah, salah satunya saat dibombardir dengan pertanyaan kapan menikah. Kebanyakan dari mereka akan membalas dengan santai sambil menjelaskan dengan lugas dan clear bahwa proses pencarian butuh waktu sambil disertai intropeksi diri. Seperti Yin dan Yang, pertanyaan kapan menikah sebagian membuat beberapa responden merasa terintimidasi sehingga merasa didesak untuk segera menikah, apalagi jika dibandingkan dengan beberapa orang yang dikenal yang sudah banyak menikah. Sedangkan sisanya, merasa tidak khawatir karena percaya jodoh akan datang diwaktu yang tepat. Dengan catatan, pernikahan bukan adu balap!
Kemudian responden dari dua kriteria, sama-sama memberikan pendapat mereka tentang fenomena menikah muda. Hal tersebut baik, apabila bukan karena latar belakang mengikuti trend yang belakangan kerap di “iklankan” oleh beberapa pihak dengan mengklaim bahwa menikah muda adalah solusi untuk lepas dari  dosa zinah (#IndonesiaTanpaPacaran). Saya pribadi, mendukung menikah muda jika alasan menikah didorong pula dengan semua persiapan (fisik,mental,finansial, dll). Karena, bisa dibuktikkan jika tidak sedikit angka perceraian disumbangkan oleh pelaku menikah muda yang tidak tahu dan mengenal problem seperti apa yang akan mereka hadapi (tidak siap menjadi suami/istri yang melayani satu sama lain, tidak siap menjadi menantu yang baik, hingga tidak siap menjadi orang tua terbaik untuk anak-anak manis yang lahir dari pernikahan mereka). Jadinya hanya menikah saja, tanpa siap lahir batin bertanggung jawab atas kehidupan pernikahan.
Lewat tulisan ini saya disclaimer bahwa ini  tidak bermaksud menyalahkan pihak-pihak tertentu dengan segala keputusannya. Hanya berharap ini menjadi bahan untuk kita saling bercermin bahwa mempersiapkan diri untuk menikah tidak semudah membuka tusukan lidi dari lemper dan tidak secepat berjalannya jam pasir. Jika sudah mampu dan jodoh sudah bertemu maka segerakan, bagi yang belum seperti saya hanya bisa menyemangati diri sendiri dan juga semoga kalian berpikiran sama, sambil saling merefleksi diri. Semoga kita selalu diberi kemudahan dalam tiap langkah.
Coz everything takes time, trust me you’ll get there somehow and it's gonna be okay to wait a little longer.

Comments

Post a Comment

Popular Posts