Menikah (Sebuah Riset Sederhana)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9uiYe5n8dhQ18_vWuoWevYs3bib1vtMRBMAvrpeY6Z5JIVs-_YChKPnPJh45Koiv3-nJ6x4yI9CH1SF_15cWnokD5Mb-8bvcMFfJR8stkcRUoQQ0CN_A0gNn748Ke3Jb5TxZtPSidFPU/s320/InShot_20190805_164332546.jpg)
Beberapa minggu lalu baru saja merayakan usia baru yang kalian tahu kerap dilakukan setahun sekali. Seperti biasa, ulang tahun ketika dewasa itu memang tidak ada yang spesial. Berkesan hanya ketika kumpul bareng temen, ngobrol, dan makan kue bareng, sementara sisanya hanya agenda untuk refleksi diri, refleksi diri, dan refleksi diri. Juga untuk sekedar catatan, bahagia nya tidak ditentukan dengan ada atau tidaknya pasangan (pengakuan salah satu teman yang merefleksikan perayan ulang tahun seseorang yang punya kekasih, dan saya refleksi tidaknya haha).
Sesuai kata Peter Pan kalau “Being adult is a trap”. Itu kenapa ga
sedikit orang yang mengidap sindrom Peter Pan yang kita tahu kisahnya sebagai
seorang anak yang membenci dan tak ingin jadi dewasa (bentuk sikap menghindari
konflik dan tanggung jawab). But wait,
point tulisan ini justru kebalikannya. Bagaimana saya diusia sekarang merasa
sudah ada di stage hidup yang
menuntut untuk dewasa oleh prioritas diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Berbeda dengan tahun lalu yang saya masih merasa belum ada di fase kedewasaan
yang selama ini saya bayangkan akan terjadi. Justru surprisingly, tahun ini bisa dikatakan moment refleksi diri
besar-besaran untuk saya yang diiringi dengan munculnya berbagai pertanyaan-pertanyaan
yang acap kali dialami oleh seseorang pada fase “dewasa”.
Salah satunya topik tentang menikah.
Entah ada magis apa dengan angka di usia ini, namun yang jelas topik menikah
tidak pernah seserius ini ada dalam pikiran saya. Bahkan bisa dibilang, tidak
sama sekali menuliskan menikah sebagai pemuncak pada daftar prioritas dan
daftar keinginan (bucket list).
Digaris bawahi, ada tapi tidak di top
list (sebagai penegasan bahwa saya masih manusia yang menginginkan menikah,
namun tidak sekarang haha).
Mungkin hal ini belakangan sering
muncul karena keadaan di life circle
dimana satu persatu sahabat baik resmi dipinang, saudara susul menyusul mengikrarkan
janji, dan kartu undangan yang mulai satu persatu berdatangan. Kemudian saya
bertanya dalam hati, apakah normal mempunyai pemikiran untuk menikah diusia
awal 20-an? Dan dari beberapa artikel, saya temukan jawaban bahwa normal untuk
berpikir menikah di usia 20-an. Pada salah satu artikel yang ditulis oleh
tirto.id, tahun 2018 ada sebanyak 60,34% pemuda-pemudi Indonesia menikah pada
usia 19-24 tahun (rentang usia saya sekarang). Bukan angka yang sedikit,
mengingat menikah muda memang sudah jadi fenomena dalam society kita yang justru sudah dianggap hal yang lumrah. Hingga
saking lumrah dan biasanya, pertanyaan-pertanyaan konyol kapan menikah sudah
pasti sering kita dengar gema nya bak momok yang menghantui di setiap pertemuan
keluarga, reunian sekolah, dan lain-lain. Fenomena menikah muda seolah-olah
dijadikan sebagai contoh untuk orang lain yang belum memutuskan untuk menikah,
bahkan tidak jarang dijadikan bahan untuk memojokkkan
#timsuksesdulumenikahkemudian sampai enggan datang ke pertemuan hanya karena
tidak ingin dilempar pertanyaan basa-basi nan menenggelamkan haha.
Kalian tidak sendiri, karena
ternyata diusia semuda ini saya pun sudah merasakannya. Sebagai seseorang yang
memegang prinsip dalam hidup dan memilih untuk konsisten, jawaban yang saya
berikan tiap kecolongan diberikan pertanyaan semacam itu saya rasa cukup pintar
agar di pertemuan berikutnya sang pelaku merasa kapok untuk menanyakan hal yang
sama. Karena jujur saja, ada diusia sekarang dengan problem hidup yang
bertambah, tanggung jawab yang bertambah, target yang bertambah, menikah memang
bukan prioritas seperti yang saya sampaikan diatas.
Saya cukup berani untuk
menanyakan hal ini kepada ibu saya, dan saya merasa sangat puas dengan jawaban
yang beliau lontarkan. Bukan pertanyaan berat, namun saya pikir beberapa tahun
kemudian hal ini akan menjadi obrolan serius jika saya masih di posisi yang sama.
Saya bertanya kepada ibu saya, bagaimana jika semua sahabat saya, saudara saya,
tetangga sepermainan sudah banyak yang menikah, lalu anak ibu ini masih saja
berkarir dan belum menikah?
Ibu saya menjawab “Tidak apa-apa,
karena mencari suami bukan perkara yang mudah”. Penyampaian beliau santai,
sehingga membuat saya tidak perlu merasa terintimidasi. Mungkin beda cerita
ketika beberapa tahun kedepan, justru ibu saya yang berbalik bertanya duluan “Berkarir
sudah lalu kapan kamu menikah?”. Terasa horror ketika membayangkannya, jadi
tidak usah dipikirkan dulu haha.
Lanjut. Menikah memang bukan hal
yang harus ditakuti toh nanti ketika menemukan yang sesuai juga akan tiba
diposisi mantap dan yakin menetap selamanya. Hanya saja dalam prinsip saya,
menikah bukan hanya soal ruang kosong yang terisi. Namun tidah salah jika hal
yang lebih kompleks turut juga dipikirkan. Jika dalam prinsip saya, akan
menikah ketika mapan (baik mental maupun finansial) then I’ll go for it mengingat ada hal yang butuh perencanaan yang
matang.
Saya melakukan sedikit riset
kepada beberapa rekan dalam rentang usia awal hingga akhir 20 tahun, yang
bersedia menjadi responden. Mereka kemudian dikelompokkan dalam dua kriteria
berbeda, yang sudah dan belum menikah. Jawaban dari responden-responden dalam
kelompok kriteria sudah menikah, mencerminkan penting sekali punya perencanaan
finansial yang matang sebelum menikah karena ada banyak hal dalam pernikahan
yang memerlukan perencanaan finansial yang baik agar seimbang di semua sisi.
Selain indikator kesiapan
finansial, indikator kesiapan menikah diusia matang juga menjadi topik kunci
dalam riset ini. Indikator ini membuktikan bahwa menikah diusia matang pun
tidak sepenuhnya menjamin semua masalah dalam pernikahan yang lebih
kompleks/serius dapat diselesaikan dengan dewasa pula. Karena sesuai kata
pepatah yang diiringi dengan hasil dari
beberapa penelitian, bahwa usia tidak membeli kedewasaan, melainkan
proses belajar dari masalah dan kemampuan untuk dapat berpikir panjang yang
melakukannya (Rose Mini, 2018)
Sejalan dengan jawaban responden
dari kelompok sudah menikah, responden dari kriteria belum menikah juga
memaparkan bahwa mapan secara mental dan finansial dirasa akan sangat membantu
menghadapi masalah-masalah yang akan lahir dalam kehidupan pasca menikah.
Matang secara finansial membantu proses perencanaan keuangan pasca menikah, dan
matang secara mental menolong proses kedewasaan dalam menghadapi peliknya
kehidupan setelah menjadi pasangan.
Namun, responden yang belum
menikah turut melengkapi dilema yang mereka hadapi sebelum menikah, salah
satunya saat dibombardir dengan pertanyaan kapan menikah. Kebanyakan dari
mereka akan membalas dengan santai sambil menjelaskan dengan lugas dan clear bahwa proses pencarian butuh waktu
sambil disertai intropeksi diri. Seperti Yin dan Yang, pertanyaan kapan menikah
sebagian membuat beberapa responden merasa terintimidasi sehingga merasa
didesak untuk segera menikah, apalagi jika dibandingkan dengan beberapa orang
yang dikenal yang sudah banyak menikah. Sedangkan sisanya, merasa tidak
khawatir karena percaya jodoh akan datang diwaktu yang tepat. Dengan catatan,
pernikahan bukan adu balap!
Kemudian responden dari dua kriteria,
sama-sama memberikan pendapat mereka tentang fenomena menikah muda. Hal
tersebut baik, apabila bukan karena latar belakang mengikuti trend yang belakangan kerap di
“iklankan” oleh beberapa pihak dengan mengklaim bahwa menikah muda adalah
solusi untuk lepas dari dosa zinah
(#IndonesiaTanpaPacaran). Saya pribadi, mendukung menikah muda jika alasan
menikah didorong pula dengan semua persiapan (fisik,mental,finansial, dll).
Karena, bisa dibuktikkan jika tidak sedikit angka perceraian disumbangkan oleh
pelaku menikah muda yang tidak tahu dan mengenal problem seperti apa yang akan
mereka hadapi (tidak siap menjadi suami/istri yang melayani satu sama lain,
tidak siap menjadi menantu yang baik, hingga tidak siap menjadi orang tua
terbaik untuk anak-anak manis yang lahir dari pernikahan mereka). Jadinya hanya
menikah saja, tanpa siap lahir batin bertanggung jawab atas kehidupan
pernikahan.
Lewat tulisan ini saya disclaimer bahwa ini tidak bermaksud menyalahkan pihak-pihak
tertentu dengan segala keputusannya. Hanya berharap ini menjadi bahan untuk kita saling bercermin bahwa
mempersiapkan diri untuk menikah tidak semudah membuka tusukan lidi dari lemper
dan tidak secepat berjalannya jam pasir. Jika sudah mampu dan jodoh sudah
bertemu maka segerakan, bagi yang belum seperti saya hanya bisa menyemangati
diri sendiri dan juga semoga kalian berpikiran sama, sambil saling merefleksi
diri. Semoga kita selalu diberi kemudahan dalam tiap langkah.
Coz everything takes time, trust me you’ll
get there somehow and it's gonna be okay to wait a little longer.
Good job sistaahh. Apiikk tenan :D
ReplyDelete